Hello kawan...
Salam sehat selalu,
Dalam obrolan dengan seorang kawan di zoom, tiba-tiba saya teringat dengan perkataan seorang Pdt GKE.
katanya, "kita ini ada semacam ketidak sinkronan dalam gaya ibadah kita. misalnya, pada anak-anak sekolah minggu, kita melaksanakan ibadah dengan gaya yang asyik, menyenangkan, bertepuk tangan, melompat dan dengan suka cita".
"Namun disaat mereka beranjak remaja, kita tidak melihat lagi ada bentuk keceriaan itu." lanjutnya. "sehingga tidak nyambung dengan kebiasaan yang diajarkan di sekolah minggu.
Dan kebetulan pada pertemuan di zoom tersebut, sang pendeta tersebut bergabung,
spontan saja saya menanyakan alasan mengapa terjadi perubahan gaya ibadah dan membuat seperti ada sesuatu yang tidak sinkron.
Kemudian dengan sabar sang Pendeta memberikan jawaban.
Dijelaskan, bahwa karena yang melayani di gereja gereja adalah kebanyakan orang tua sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melakukan kegiatan dengan gaya anak anak sekolah minggu tadi.
sehingga bentuk ibadahnya seolah olah kaku. sebenarnya, hal tersebut lebih pada keterbatasan dalam mengekspresi diri yang dikarenakan karena faktor usia, dan bukan karena suatu larangan.
karena alasan itulah, dan hal itu terjadi di banyak gereja GKE sehingga seolah olah demikianlah cara ibadah di GKE. dan karena polanya telah berlangsung lama, sehingga hal itu menjadi kebiasaan dan ditiru serta diteruskan oleh generasi berikutnya.
Bagi saya sendiri, boleh atau tidak boleh tepuk tangan dalam ibadah, tidak menjadi masalah.
karena saya asalnya dari kampung, dan umat kristennya masih homogen, tidak ada jemaat lain selain GKE, sehingga yang saya tau adalah ibadah GKE saja (beserta dengan gaya ibadahnya). dan saya menikmati saja. Tidak ada masalah. dan saya tetap setia hadir di gereja.
Dengan pindahnya domisili dari desa ke kota, pergaulan saya pun menjadi lebih luas. Ada banyak hal yang baru, termasuk menemukan bahwa terdapat berbagai denominasi gereja.
Beda denominasi, gaya ibadahnya pun berbeda. dari yang biasa-biasa saja hingga ke yang lompat lompat. yang saya maksudkan, jemaat dewasanya loh, bukan anak sekolah minggu.
dan ibadah model itu tentu saja tidak terjadi di GKE.
Dalam perjalanannya, selain menghadiri kebaktian di GKE, saya juga berkebaktian di gereja selain GKE.
Dari apa yang saya lihat. sepertinya selain pada gaya kebaktiannya, gereja non GKE tersebut memiliki beberapa perbedaan lain.
Perbedaan yang mencolok adalah bahwa rata rata pemimpin dari gereja tersebut memiliki ambisi/keinginan yang kuat agar jemaatnya banyak. Hal itu terlihat (saya rasakan) dari gencarnya kegiatan-kegiatan yang digalakkan oleh pendeta kepada anggotanya untuk menjangkau orang-orang baru.
Jadi itu salah satu perbedaan yang saya lihat antara GKE dan non GKE.
Terkait dengan tepuk tangan tadi, kalau berdasarkan penjelasan dari Pendeta kita tadi, lebih dikarenakan petugas ibadahnya adalah orang orang tua, sehingga gaya yang diperlihatkan adalah gaya orang tua.
Namun ada baiknya juga, menurut hemat saya, GKE mempertimbangkan untuk membuat alternatif dalam gaya ibadahnya, sehingga warga jemaat GKE, khususnya warga jemaat kalangan muda, mempunyai pilihan dalam beribadah.
dan agar jemaat / resort tidak ragu, sebaiknya juga, dari Sinode dapat mengeluarkan semacam edaran yang mengijinkan jemaat GKE untuk melaksanakan gaya ibadah ekspresif tadi. Mungkin saat ini, sudah ada beberapa jemaat yang melaksanakan ibadah ekspresif.
Saya pikir, GKE tentu bisa secara jeli untuk melihat peluang peluang yang ada guna menjaga warga jemaatnya. Dan perubahan itu dimulai dari para pemimpinnya.
terima kasih telah membaca...
tentu saja, ini hanya sebuah pemikiran, yang jauh dari sempurna.
Comments